Assalamualaikum w.b.t.
Karya Pak Bagas ni, benar-benar buat aku memikirkan tentang aku. Aku yang hidup bersama mak yang ibu tunggal. Semuanya bagai imbas balik kehidupan kami tanpa bapa. Meskipun tidak serupa tapi dasarnya sama, kami kehilangan tunggak rumah tangga, itulah bapa.
Isinya biasa saja, tapi cukup menginspirasi insan seperti aku. Kisah benar tidak perlu penuh liku, jalan hidup itu sendiri jadi pelajaran buat kita. Aku juga berharap dapat berjaya seperti penulis, dan suatu masa nanti aku punya giliran pula menulis jalan cerita hidupku. Insha Allah.
Meskipun kronologi buku ini tidak ikut urutan, tapi asal saja kita ikuti perkembangan ceritanya, tiada masalah untuk memahami. Asal tidak hilang trek.
Aku jatuh cinta saat baca bait ini " Bukankah Tuhan yang memilihku untuk menghantarmu ke dunia ini. Maka, jika aku mendampingimu dalam mengarunginya, itu bagian tugas muliaku." Terus saja ia masuk senarai buku yang ingin ku miliki, Alhamdulillah hasil bantuan seorang teman kepada temannya yang pulang sebentar menjenguk keluarga di seberang, sampai juga buku ini kepada ku.
Kamu tahu, aku sampai sekarang dan mungkin saja sampai bila-bila tidak mampu untuk memahami hati dan fikiran mak. Tidak akan pernah. Aku juga yakin Pak Bagas juga begitu. Tapi sedikit pemahaman pun kita bisa menangis apalagi untuk memahami semuanya, kita tidak akan bakal mampu. Pun begitu, aku masih dengan ego ku berharap untuk hidup selalu bersama mak.
Kerna amanah itu aku berada di sini. Impian seorang bapa tanpa sempat melihat hasilnya. Aku pula masih berada di tengah lapangan, mencari-cari arah harus ke mana. Aku buntu. Keliru. Ego. Kadang aku juga berfikir kalau aku berada di sini adalah suatu keajaiban kerna aku tidak nampak di mana kelebihan ku untuk terus berada di sini. Kalau orang lain berada di sini menjual buah fikiran mereka, berusaha keras menambah pengetahuan dan bermimpi untuk capai level lagi tinggi, aku kenapa masih berdiri diam? Jual apa? menambah apa? mimpi apa? nol. sifar, kawan.
Tapi, mengalah saja aku takut. Kalah aku sama mak. Dia jangankan kuliah, lanjut sekolah menengah pun tidak pernah, tapi tidak pernah gentar dan ragu kalau aku bisa berjaya. Jadi orang pintar. Sekolah tinggi-tinggi, miliki akhlak yang mulia dan bantu orang yang susah. Doa seorang mak.
" Doa seorang ibu adalah percikan *sinyal bagi Tuhan, bahwa ada seorang anak manusia yang sedang membutuhkan perhatianNya" [Bagas D.B.]
*aku assume sinyal tu as signal. kalau salah mohon diperbetulkan.
Menghitung tahun berapa lama lagi harus mak menunggu untuk melihat anaknya terima segulung ijazah. Insha Allah. Kalau mak pun tidak pernah jemu menunggu kenapa harus kita yang mengeluh? Siapa bilang belajar kerja mudah? Ini jalan jihad. Tiada mudah.
bye. merenung kembali masa silam. tidak mungkin patah balik. teruslah ke hadapan walau yang menunggu cuma lumpur dan lecak.
Karya Pak Bagas ni, benar-benar buat aku memikirkan tentang aku. Aku yang hidup bersama mak yang ibu tunggal. Semuanya bagai imbas balik kehidupan kami tanpa bapa. Meskipun tidak serupa tapi dasarnya sama, kami kehilangan tunggak rumah tangga, itulah bapa.
Isinya biasa saja, tapi cukup menginspirasi insan seperti aku. Kisah benar tidak perlu penuh liku, jalan hidup itu sendiri jadi pelajaran buat kita. Aku juga berharap dapat berjaya seperti penulis, dan suatu masa nanti aku punya giliran pula menulis jalan cerita hidupku. Insha Allah.
Meskipun kronologi buku ini tidak ikut urutan, tapi asal saja kita ikuti perkembangan ceritanya, tiada masalah untuk memahami. Asal tidak hilang trek.
Aku jatuh cinta saat baca bait ini " Bukankah Tuhan yang memilihku untuk menghantarmu ke dunia ini. Maka, jika aku mendampingimu dalam mengarunginya, itu bagian tugas muliaku." Terus saja ia masuk senarai buku yang ingin ku miliki, Alhamdulillah hasil bantuan seorang teman kepada temannya yang pulang sebentar menjenguk keluarga di seberang, sampai juga buku ini kepada ku.
Kamu tahu, aku sampai sekarang dan mungkin saja sampai bila-bila tidak mampu untuk memahami hati dan fikiran mak. Tidak akan pernah. Aku juga yakin Pak Bagas juga begitu. Tapi sedikit pemahaman pun kita bisa menangis apalagi untuk memahami semuanya, kita tidak akan bakal mampu. Pun begitu, aku masih dengan ego ku berharap untuk hidup selalu bersama mak.
Dialog ku sama mak :
"Jangan sia-siakan belajar mu, nak"
"Iya, Indo".
"Jangan bilang iya saja."
"Aduh Indo, abis diam juga ndak boleh. Dijawab iya pula ndak percaya"
"Betul nak, mamak bukan apa, jangan biarkan apa pun mengganggu belajar mu. Itukan amanah bapa mu? Jadi bapa sudah tiada, mamak la yang ganti tugasnya untuk pastikan kamu benar-benar berjaya"Kerna amanah itu aku berada di sini. Impian seorang bapa tanpa sempat melihat hasilnya. Aku pula masih berada di tengah lapangan, mencari-cari arah harus ke mana. Aku buntu. Keliru. Ego. Kadang aku juga berfikir kalau aku berada di sini adalah suatu keajaiban kerna aku tidak nampak di mana kelebihan ku untuk terus berada di sini. Kalau orang lain berada di sini menjual buah fikiran mereka, berusaha keras menambah pengetahuan dan bermimpi untuk capai level lagi tinggi, aku kenapa masih berdiri diam? Jual apa? menambah apa? mimpi apa? nol. sifar, kawan.
Tapi, mengalah saja aku takut. Kalah aku sama mak. Dia jangankan kuliah, lanjut sekolah menengah pun tidak pernah, tapi tidak pernah gentar dan ragu kalau aku bisa berjaya. Jadi orang pintar. Sekolah tinggi-tinggi, miliki akhlak yang mulia dan bantu orang yang susah. Doa seorang mak.
" Doa seorang ibu adalah percikan *sinyal bagi Tuhan, bahwa ada seorang anak manusia yang sedang membutuhkan perhatianNya" [Bagas D.B.]
*aku assume sinyal tu as signal. kalau salah mohon diperbetulkan.
Menghitung tahun berapa lama lagi harus mak menunggu untuk melihat anaknya terima segulung ijazah. Insha Allah. Kalau mak pun tidak pernah jemu menunggu kenapa harus kita yang mengeluh? Siapa bilang belajar kerja mudah? Ini jalan jihad. Tiada mudah.
bye. merenung kembali masa silam. tidak mungkin patah balik. teruslah ke hadapan walau yang menunggu cuma lumpur dan lecak.
Ulasan
Catat Ulasan