Assalamu'alaikum dan selamat malam.
Beberapa hari yang lepas, salah seekor kucing kami mati. Namanya Seppang. Dia itu membesar di depan mataku, dari dia lahir sampai mati,aku ada menyaksikan.
Seppang kucing yang baik, pintar, friendly dan bersifat positif. Dari dia kecil sudah jelas kepintarannya dan peribadi yang cepat menarik perhatian orang. Bahkan bulunya saja sudah memberi impresi bagus.
Menginjak usia remaja, dia lanjut dengan penuh tertib. Kiranya dia merupakan kebanggaan dalam keluarga kami. Aku kira dia memang antara yang popular dalam kalangan ahli. Setelah kakak-kakaknya melahirkan dialah sosok yang rajin mendukung anak-anak kecil itu. Pernah suatu ketika, saat keluarga kami mula-mula menerima ahli yang ramai, kami belum matang lagi dalam hal penjagaan. Maka, kami bawa sejumlah 9 ekor anak kucing ke rumah lama (jaraknya dari rumah kami kini tidak sampai 1 minit kalau kau berlari kencang) dengan harapan mereka dapat didisiplinkan di situ.
Waktu itulah, Seppang menjadi pembantu yang ampuh, yang boleh diharap. Dia itulah yang akan menjaga adik-adiknya siang malam sampai tidak pulang rumah. Dia yang menemani bermain dan tidur. Ah, juga makan. Bila kami panggil dia pulang maka baru jugalah dia pulang dan kemudian bepergian lagi ke rumah lama. Pernah dia pulang ke rumah tapi bersamanya nanti adik-adiknya. Maka kami yang tidak mengerti memarahi lagi, biar membesar di rumah lama itu adikmu, kata kami.
Kemudian, anak-anak kucing itu tadi kembali ke rumah dan menatap di bawah kolong dan di beranda bahagian belakang rumah. Seppang jugalah yang duduk seharian bermain dengan adik-adiknya di bawah rumah. Kadang-kadang adiknya lolos ke dalam rumah, tinggal dia sendirian di atas para-para di kolong, tidur memeluk diri kerana kesejukan.
Semakin ia dewasa, aku kira dia paling rapat sama aku. Walaupun yang selalu memberi makan adalah mak. Tabiatnya itu menampar muka kita, menggigit telinga, hidung dan menjilat pipi dan kening.
.
.
.
.
.
Dan dua hari lepas dia pergi. Dua hari terakhir dia tiada nafsu makan. Air pun tidak tertelan. Aku pun memujuk diri, mungkin dia selesema. Seharian pertama dia tidur saja. Aku kira itu proses penyembuhannya. Tetapi melewati hari kedua, jalannya sudah tidak dapat diimbang. Mukanya cengkung. Miawnya bisu. Aku pun baru sedar kalau itu adalah momen-momen terakhir kami.
Malam itu, masuk dia dibilikku. Tiada sudah gelak-gelak kecilku seperti dulu kalau dia bertandang. Kerna yang terpapar di depan mataku adalah sosok tubuh kucing yang berperang dengan maut. Tatkala tanganku mengusap kepalanya, cuping telinganya dingin, hidungnya dingin, kaki-kakinya juga dingin. Aku menangis sungguh-sungguh.
Lihatlah aku ini Seppang. Manusia yang takut pada perpisahan. Kalau kau bisa mengerti, tangisku ini berbicara tentang sesal dan juga harapan. Mengerti kau? Meskipun itu suatu tindakan yang tamak, kerna tiap yang bernyawa akan mati, tiap yang kita punya adalah milik pemilikNya. ..
.
.
.
.
.
Pernah dia itu aku ceritakan betapa perit menjalani hidup. Betapa sakit ketika jatuh di pentas dunia. Menangis dan tersedu-sedan. Matanya berkelip. Ini bukan ekspresi yang selalu dilihatnya terpampang diwajahku. Aku benar-benar depresi. Dan ku katakan padanya, kalau dialah teman tempat aku menangis. Hidup seorang manusia yang sepi. Menangis pun perlukan teman.
Padahal dia, semalaman terakhir itu tiada tidur menahan sakit. Aku peluk dia biar kurang sakitnya. Tapi pelukan saja tiada guna, sakit dan harus pergi sendiri meninggalkan dunia dan seisinya..
Seppang, cinta itu apa? Cinta itu wujud tatkala diri tahu bahawa akan ada perpisahan di tiap pertemuan tetapi tetap memilih untuk hidup bersama sampai waktunya tiba. Dan kau itulah cinta kami. Setiap hela nafasmu.
Ulasan
Catat Ulasan